Saturday, 5 December 2020
Indahnya Drama Tanpa Drama dalam Serial Hospital Playlist
Saturday, 26 September 2020
Belajar Hidup dari Buku “I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki”
Siapa yg gak tahu Tteokpokki?
Jajanan kaki lima khas korea yg sering muncul dalam berbagai drama korea. Iya yg itu, kue beras yg dimasak dengan bumbu pasta cabai dengan cita rasa pedas dan asam. Gimana sudah pernah makan?.
Tapi kita gak akan bahas Tteokpokki ya... Melainkan sebuah buku yg
mengandung Tteokpokki. Iya judulnya aja he he.
Yaps apalagi kalau bukan buku #1 best seller di Korea Selatan I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki karya Baek Se Hee. Buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Haru tahun 2019. Buku yg aku punya adalah buku cetakan ke 10. Wah laris juga ya di Indonesia.
Apasih istimewanya buku ini sampai laris manis dimana-mana?. Ayok kita coba cari tahu.
Dari kenampakannya dulu ya. Buku ini punya cover manis berwarna ungu muda dengan ilustrasi seorang perempuan yg sedang tidur dengan selimutnya (ala2 orang yg lagi sedih gitu). Melihat isi dalamnya kita akan disuguhkan dominasi warna pink untuk bagian2 tulisan tertentu. Menururtku ini membuat bukunya jadi terkesan eksklusif untuk perempuan, selain itu aku juga pernah menjumpai buku lain dengan dominasi warna yg sama. Padahal isinya sebenarnya bisa relate buat siapa aja bisa laki2 atau perempuan walaupun penulisnya perempuan.
Emang isinya bahas apa sih?
Buku ini berisi esai dari si penulis yakni Baek Se Hee yang mengidap Distimia. Didalam bukunya akan disajikan percakapan penulis dengan psikiaternya. Iya mostly isinya percakapan. Bagi yang mudah bosan, mungkin ini agak sedikit membosankan, tapi percayalah ada nilai-nilai yang terselip dari setiap percakapan mereka. Dari percakapan itu kita bisa mengetahui penilaian, saran, nasihat dan evaluasi diri yg diharapkan bisa bermanfaat bagi pembaca untuk bisa menerima dan mencintai diri sendiri.
Apa aja isinya? Aku bakal kasih tau sedikit nih..
Distimia atau gangguan distimik adalah kondisi dimana penderitanya mengalami depresi ringan yang berkepanjangan dan terus menerus. Ini berbeda dengan gangguan depresi mayor yang menunjukkan gejala depresi berat. Menurut dr. Jiemi Ardian, Sp.Kj, persistent depressive disorder (distimia) adalah bentuk kronis (jangka panjang) dari depresi. Seseorang dapat kehilangan ketertarikan yang normal pada aktivitas sehari-hari, merasa tidak ada harapan, produktivitas berkurang, harga diri yang rendah dan perasaan tidak layak. Distimia berbeda dengan depresi dalam derajatnya serta durasi waktunya yang sangat lama.
Nah si penulis mendapat diagnosis distimia dari psikiater yang menanganinya. Pola pikir orang yang menderita distimia seringkali unik dan itu juga yang terjadi pada sosok Se Hee. Awalnya Se Hee hanya merasa depresi biasa. Diawal buku dijelaskan bagaimana ia tidak percaya diri, memiliki tendensi ketergantungan dan perilaku unik lainnya yang menjurus pada diagnosa distimia.
Contohnya, Se Hee punya kebiasaan menegur seseorang yang melakukan tindakan yang ia anggap mengganggu, seperti berbicara keras saat telepon di bus umum. Menurutnya jika ada 10 kasus seperti itu ia ingin menegur sepuluh kali. Lalu sang psikiater memberi saran:
"Anda menjadikan hal yang bisa dikritik orang lain menjadi tanggung
jawab anda sendiri. Padahal menghindari orang-orang yang tampaknya tidak akan
peduli setelah ditegur adalah pilihan yang baik. Mencari satu persatu akar
permasalahan dan berusaha menyelesaikannya sendiri adalah sesuatu yang sangat
tidak mungkin. Tubuh kita hanya ada
satu, tidak perlu membebankan peran yang terlalu besar untuk tubuh ini".
Karena isi buku ini kebanyakan adalah percakapan maka nilai atau hal yang ingin ditonjolkan dalam pembahasan harus digali lebih dalam. Perlu beberapa pemahaman untuk memahami maksud yang disampaikan dari keduanya. Oleh karenanya aku merangkum beberapa hal yang kiranya penting dan sesuai dengan kondisi kebanyakan kita. Tentunya tidak akan semua aku sampaikan ya. Akan lebih baik jika setelahnya kalian membaca sendiri dan menemukan sudut pandang menurut kalian sendiri. Yuk lanngsung saja.
Khawatir terhadap penilaian orang lain
Perilaku Se Hee yang juga mirip dengan kita kebanyakan adalah terlalu mengkhawatirkan apa yang dipikirkan orang lain. Akibatnya kepuasan terhadap diri sendiri menurun. Perilaku yang muncul adalah kebiasaan mengawasi diri sendiri, memastikan diri oke atas perilaku, penampilan maupun kata2 kita. Kita jadi semacam memantau diri melalui cctv, begitu kata sang psikiater. Dampaknya apa? Tentu kita akan kelelahan sendiri. Padahal kita bisa mengabaikannya.
"hal yang paling penting adalah perasaan senang dan gembira dari dalam diri anda, tidak peduli apa yang orang lain pikir atau katakan. Saya harap anda bisa memenuhi keinginan diri anda terlebih dahulu, tanpa memikirkan apa yang dilihat oleh orang lain".
Minder ketemu dengan orang baru
Se Hee seringkali merasa minder ketika bertemu dg orang lain. Ia merasa jika dirinya biasa saja dan takut jika orang lain tahu, mereka akan meninggalkannya. Bagaimana cara mengatasi pikiran ini?
"apakah ini masalah yg harus diperbaiki? Semua kembali pada bagaimana cara anda memandang diri anda. Saat ini anda menetapkan standar anda sendiri dan menyiksa diri anda dengan standar itu."
Perasaan superioritas
dan inferioritas juga ia alami. Ia akan
merasa PD jika ia merasa dirinya superior dibanding orang lain, seperti lulus
dari universitas yang lebih baik contohnya. Sebaliknya jika ia tahu bahwa
lawannya lebih superior darinya ia akan merasa minder. Padahal perasaan superioritas dan inferioritas hanya terbawa oleh standar kebanyakan.
Tidak mengenali diri sendiri
"saya belum mengenl diri saya sendiri, apa yg harus saya lakukan?
"banyak orang yg mengaku kenal terhadap diri sendiri, tapi lebih baik jika kita berpikir dan bertanya, "apakah aku benar2 mengenal diriku sendiri? Ataukah aku hanya melihat sosok diriku seperti yang ingin kulihat saja?”
"mana yg benar?"
"pada akhirnya kita tentu harus melihat sosok diri kita secara keseluruhan. Secara multi dimensional."
Melihat diri sendiri sama halnya dengan melihat orang lain, kita tidak
bisa melihat tokoh hanya berdasarkan baik atau jahat saja, melainkan
keseluruhannya. Jika kita bisa melihat orang lain secara keseluruhan maka kita
juga harus melakukan hal yang sama terhadap diri sendiri.
Obsesi terhadap penampilan
Kecenderungan untuk menganggap diri kurang menarik, tidak cantik, tidak sesuai standar orang lain memang akan selalu melekat ya. Ini pula yang dialami Se Hee.
“saya paham bahwa saya tidak bisa memenuhi ekspektasi semua orang. Tapi pada kenyataannya saya tidak bisa menerimanya. Saya banyak menyalahkan diri saya karena masalah ini”.
“saya pikir masalah ini bukanlah masalah yang harus dihindari, tapi harus anda nikmati. Anda hanya perlu menikmati keseharian anda. Terkadang ada saatnya dimana anda ingin merias wajah sesuai dengan perasaan anda hari itu. Tapi ada saatnya pula anda tidak ingin merias wajah anda sama sekali. Saat itulah sebaiknya anda bersikap masa bodoh dan membiarkan orang-orang menilai sesuka hati mereka”.
Jadi….
Itu tadi beberapa poin yang coba aku ulas dari buku ini. Jika kalian tertarik bisa langsung baca saja fullnya. Harga asli buku ini Rp. 99.000, tapi sudah banyak diskon di berbagai marketplace menjadi sekitar Rp. 80.000an saja. Buku ini cocok bagi kalian yang memiliki berbagai macam pikiran dan kecemasan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun tanpa diagnosis gangguan mental apapun ini juga bisa jadi pelajaran buat kita untuk memahami orang-orang yang mungkin sedang berjuang menghadapi gangguan yang mereka alami.
Oh iya buku seri 2 nya juga sudah terbit. Bisa kalian jadikan bahan bacaan selanjutnya setelah buku satu selesai jika kalian tertarik dengan kelanjutan ceritanya.
Terimakasih
sudah mampir. See u di buku-buku selanjutnya ya.
Saturday, 19 September 2020
KENALAN SAMA FILOSOFI TERAS YUK! SUPAYA MENTALMU GAK CEPET LOYO
Hallo, sudah lama nih gak bahas
buku, kali ini aku mau bahas buku yang sebenernya sudah lama pengen aku bahas. Sebuah
buku best seller yang waktu aku beli
ada di jajaran top 10 book di
Gramedia. Yaps “Filosofi Teras”. Buku
bercover putih, kuning dan hijau ini ditulis oleh Henry Manampiring dan
diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada tahun 2019. Tebal bukunya 320 halaman
dengan harga Rp. 98.000. Menurutku cukup sesuai harga dengan tebal bukunya
apalagi isinya he he.
Bahas apasih? Filsafat ya? Ah berat
banget kayaknya. Eh ternyata bukan loh. Buku ini berisi pengalaman pribadi sang
penulis dalam menerapkan filosofi teras untuk mengatasi kecemasan-kecemasan
yang dulu ia rasakan. Jadi kita gak akan belajar filsafat secara teoritis tapi
secara praktis.
Dijaman yang semua serba online ini
siapa sih yang bisa menjamin jika kondisi mental kita tetap baik-baik saja? Masalah
insecure, overthinking, anxiety, mudah marah dan banyak emosi negative lainnya
agaknya begitu mendominasi keluhan orang-orang. Apalagi disaat pandemic seperti
ini, rasanya emosi negative semakin sering muncul ya. Salah satunya seperti
yang dikemukakan dalam buku ini nih:
“dengan media social kita mengalami banjir informasi yang belum tentu
benar. Ini bisa menambah kekhawatiran”
Nah, bener gak nih? Jika ia, mari
kita belajar dari buku ini. Buku ini akan mengajak kita bagaimana menerapkan
filosofi teras atau yang juga dikenal dengan filosofi stoa untuk mencapai
kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam filosofi stoa secara sederhana bahagia itu
ketika tidak ada gangguan. Gangguan macam
apa? Apapun itu, segala macam emosi negative
bisa dikategorikan sebagai gangguan. Bahkan sekedar notifikasi tak henti di
grup Wa juga bisa dikategorikan gangguan.
Seperti definisinya, dalam filosofi
stoa kita tidak akan diajak untuk memperoleh kebahagian dalam pengertian umum
seperti sukses, punya rumah, karir bagus, dll. Tapi kita akan diajarkan
bagaiman kita bisa mengendalikan emosi negative kita. Kok gitu? karena dalam
filosofi ini tidak ada emosi negative sama
dengan bahagia.
Bicara bahagia dalam Filosofi stoa,
maka tidak akan terlepas dari istilah Dikotomi
kendali.
“somethings are up to us, something are not up to us”
-Epictetus (Enchiridion)
Kamu setuju kan dengan kalimat itu?
Tapi sudah tahu belum makna yang sebenarnya? Ini sangat erat kaitannya dengan
kebahagiaan kita. Aku sendiri setelah memahami kalimat itu, setuju dengan
maksud yang disampaikan. Dalam hidup ada hal yang dibawah kendali kita dan ada hal
yang tidak dibawah kendali kita.
Kekayaan masuk yang mana menurutmu?
Dibawah kendali kita? Oh ternyata tidak. Stoisisme mengajarkan bahwa
kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari ‘’things
we can control”, hal-hal dibawah kendali kita. Kebahagiaan hanya bisa datang
dari dalam. Apa saja? Pertimbangan, opini dan persepsi kita, keinginan kita,
tujuan kita dan segala sesuatu yang memang pikiran dan tindakan kita. Makanya tidak rasional jika kita menggantungkan
kebahagiaan pada hal yang tidak bisa kita kendalikan seperti kekayaan, perlakuan
orang lain, opini orang lain, status, dll. Jika tidak setuju coba nalarnya
dipake lebih jauh karena rasionalitas
juga salah satu kunci dari filosofi stoa.
Jika nalar kita belum sampe dapet
toleransi nih, maka ditawari konsep lain yakni Trikotomi kendali. Ada hal
lain yang SEBAGIAN dibawah kendali kita, artinya kita bisa mengusahakan segala
sesuatu yang bisa kita kerjakan tapi outcome
akhirnya diluar kendali kita. Seperti bisnis dan karir contohnya.
Hal-hal diluar kendali kita
sebenanya adalah hal yang indifferent atau
tidak memiliki pengaruh. Tapi sebagai manusia kadang masih terlena dengan
hal-hal diluar kendali kan ya. Makanya ada preferred
indifferent (hal-hal yang gak ngaruh tapi kalau ada ya bagus) missal kekayaan,
kecantikan dan popularitas. Ada juga unpreferred
indifferent (hal-hal yang gak ngaruh tapi kalau gak ada lebih baik) missal penyakit
dan kemiskinan.
Itu tadi konsep dasar bahagia yang coba diterapkan Om Piring (sapaan penulis) dalam kehidupan sehari-hari.
Gimana masih merasa cemas?. Wait mungkin kita belum kenal ini:
“it is not things that trouble us, but our judgment about things”
-Epictetus (Enchiridion)
Iya benar, sumber kekhawatiran ada
di dalam pikiran kita, bukan peristiwanya. Maka dari itu kita punya kekuatan
untuk mengubah persepsi kita.
“pada dasarnya semua emosi dipicu
oleh penilaian, opini, persepsi kita. Keduanya saling terkait, dan jika ada
emosi negative, sumbernya ya nalar/rasio kita sendiri”.
Jadi masalahnya adalah pada
interpretasi kita, rasional atau tidak. Untuk mengatasinyanya kita diberikan
solusi yakni STARS.
Stop (berhenti), begitu kita merasakan emosi negative
Think & Assess (dipikirkan dan dinilai), pikirkan secara rasional
dan nilai apakah pikiran saya ini terjadi karena sesuatu yang didalam atau
diluar kendali kita. Missal ketemu teman lama, mereka spontan teriak “eh gila lo gemuk amat sekarang”
interpretasi negatif yang muncul pertama adalah “orang ini menghina gue” padahal setelah kita pikirkan dan nilai
mungkin orang ini tidak tahu etika menyapa yang benar jadi ini hal diluar
kendali kita.
Respond setelah kita bisa berfikir dan menilai secara rasional
barulah kita menentuka respon kita. Tentunya respon yang sebaik-baiknya, baik
tindakan maupun perkataan.
Masih khawatir juga? Ah agaknya kamu
perlu tahu
“85% of what we worry never happens”
Gak kejadian kan?. Iya kita aja
yang lebay membiarkan pikiran kita kesana-kemari.
Jadi, coba ingat lagi bahwa pikiran
kita ada dibawah kendali kita. Jika kita masih sering khawatir atau over thinking coba alihkan menjadi premeditation malorum yakni memikirkan
kemungkinan buruk yang akan terjadi dalam hidup kita, bukan untuk membuat
khawatir tapi untuk mengenali peristiwa diluar kendali kita dan kemudian memilih
bersikap rasional. Supaya apa? Supaya kita siap jika benar-benar terjadi dan
tidak terlalu terkejut.
Mau yang lebih ekstrim, maka
latihanlah menderita.
“jika kamu ingin seseorang tak goyah saat krisis menghantam, maka
latihlah ia sebelum krisis itu datang”
-Saneca (Letters)
Saneca menganjurkan kita untuk
berlatih apes atau latihan menjadi miskin secara rutin. Dengan cara apapun, missal
makan makanan yang sangat sederhana. Tujuannya apa? Menjadi renungan, apakah
menjadi miskin sungguh semenakutkan itu? Karena ternyata kita masih bisa hidup
dengan makanan yang sederhana. Rasa percaya diri juga akan meningkat karena
diri bisa menjalani musibah dengan kuat. Selain itu ini juga bisa melawan
fenomena hedonic adaptation, apapun
yang membuat kita senang pada akhirnya akan kehilangan kenikmatan seiring
berjalannya waktu.
Itu tadi sekilasi isi buku filosofi
teras yang aku kulik, selengkapnya bisa kalian baca sendiri ya…
Jadi secara keseleluruhan buku ini
bagus menurutku, penggunaan kalimatnya mudah dipahami bahkan disisipkan
banyolan-banyolan khas anak-anak muda di masa sekarang. Jangan takut dulu
karena judulnya filosofi, kita gak akan kuliah filsafat 4 sks kok he he.
Buku ini cocok banget buat kamu
yang lagi nyari bacaan untuk kesehatan mental atau sekedar ingin mengenali
diri. Tidak terbatas bagi siapapun itu, bisa banget baca buku ini. Yang lagi
galau, suka marah-marah, sedang bingung, baperan, ingin jadi lebih baik bisalah
jadiin buku ini sebagai salah satu bacaanmu. Sesuai dengan pertanyaan di halaman cover
belakang buku, isi buku ini banyak memberi jawaban atas pertanyaan tentang
kegelisahaan hidup.
Jadi yuk baca..
Kutipan penutup nih…
“selamat menjalani hidup! Dengan keberanian, kebijaksanaan, menahan diri
dan keadilan”
Tuesday, 1 September 2020
TENTANG YANG LAGI VIRAL
Beberapa waktu lalu, dunia maya sedang dihebohkan dengan
kabar pernikahan sepasang public figure muda yang melangsungkan pernikahan
melalui proses taaruf.
Sebenarnya tak ada yang aneh dengan proses tersebut, namun
karena proses tersebut belum lazim digunakan masyarakat biasa apalagi generasi
muda dan public figure maka ramailah pemberitaan tersebut.
Dalam unggahan salah satunya, secara singkat dijelaskan
bagaimana proses mereka hingga memutuskan untuk menikah. Banyak reaksi
berdatangan, termasuk dariku. Aku pribadi kagum sama setiap pasangan
yang mengambil jalan taaruf sebagai langkah memulai hubungan, terlepas dari
seperti apa masa lalu mereka. Setidaknya mereka memilih melakukan hal yang baik
setelahnya. Iya aku masih sebatas percaya jika proses itu baik, namum masih ada
juga pertanyaan-pertanyaan kecil apakah iya bisa? Apakah gak apa-apa
kedepannya? Kok bisa ya yakin dalam waktu sesingkat itu?. Ya
pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Mungkin imanku masih terlalu cetek untuk
memahami itu semua.
Meskipun beberapa orang disekitarku menjalani proses yang
sama tak lantas membuatku benar-benar yakin dengan hal itu.
Adalagi yang lagi berita pasangan muda yang juga melangsungkan
pernikahan melalui proses taaruf. Tapi bedanya banyak beredar kabar tidak baik
tentang keduanya. Tapi semoga tidak terjadi apa-apa.
Yang jadi pertanyaan adalah apakah taaruf menjamin
kelanggengan hidup rumah tangga?
Menurut salah seorang pakar “tidak, bahkan tidak sedikit
yang rumah tangganya gagal walaupun melalui proses taaruf”. Kok bisa, katanya
itu proses yang baik?.
Menurut kajian yang aku ikuti beberapa waktu lalu, ada
kesalahan yang dilakukan dalam taaruf yakni taaruf yang terburu-buru apalagi
dengan orang yang benar-benar baru dikenal. Taaruf sendiri adalah proses, metode atau fase perkenalan
sebelum fase khitbah dan pernikahan dalam jangka waktu tertentu yg disepakati
dan ditemani oleh perantara. Ingatnya, ini bukan sebuah ikatan dan ada jangka
waktu yang jelas. Iya ada waktunya, jadi gak ada yang namanya digantung dalam
proses taaruf. Katanya seperti itu.
Mengenai taaruf yang buru-buru maksudnya disini mereka tidak
memaksimalkan ikhtiar. Artinya jangan menggunakan jangka waktu yang terlalu
singkat, apalagi dengan orang yang baru dikenal. Maksimalkan waktu yang
ada untuk saling mengenal dan menanyakan apapun yang akan jadi visi misi
pernikahan kedua calon pasangan. Pastikan bahwa benar-benar cocok dan sesuai
kriteria. Kalo ternyata gak cocok? Gak lanjut gpp. Namanya juga proses, gagal
didalamnya adalah hal wajar.
Proses yang baik akan lebih baik jika dijalankan dengan
benar. Jadi taaruf saja belum tentu baik, harus dilakukan dengan tatacara yang
baik pula. Jangan sampai taaruf sebagai tameng atau embel-embel untuk menjalin hubungan yang mengarah pacaran.
Mengenai yang lagi viral itu, jangan terlalu diagungkan juga
jangan terlalu diremehkan. Ambil pelajaran dari sisi positifnya, buang yang
dirasa tidak bermanfaat. Aku yakin kita sudah bisa membedakan.
Ada yang berpendapat “menikah jangan cuma ingin pamer
keuwuan di social media”. Iya disadari atau tidak banyak generasi muda yang
memilih menikah muda terlepas dari apapun alasannya seringkali dipandang hanya
ingin memamerkan keuwuan di media social. Padahal
tidak semua seperti itu. Menyegerakan ibadah jika sudah mampu adalah
sesuatu yang baik. Ditunda-tunda padahal sudah mampu juga tidak baik, nanti malah jadi omongan Bu Tedjo lagi, Ups.
Aku sendiri maklum jika pasangan pengantin baru memposting
hal yang membahagiakan, ya karena mereka sedang merasakannya. Tapi ya jangan
terlalu diumbar, kasihanilah nasib kaum jomblo seperti aku ini. He he.
Bahagia sewajarnya berproses setelahnya. Agaknya perlu
diingat terus jika berumah tangga adalah ibadah terpanjang dalam hidup. Perlu
banyak ilmu didalamnya, banyak kedewasaan, banyak tanggungjawab, banyak
mengalah, dan banyak-banyak yang lain. Pernikahan adalah awal memulai semuanya.
Memulai yang baik dan indah harapannya akan membawa kebaikan dan keindahan seterusnya.
Gimaman? Setelah yang lagi viral itu sudah ada yang chat
“tipe suami/istri idamanmu seperti apa?” belum?. Eits maaf jangan dijadikan
bahan candaan. Nanti udah baper eh ternyata ujung2nya “tapi boong”. Jangan
begitu ya. He he.
Selamat berproses, siapapun kamu dan proses apapun itu.
Friday, 21 August 2020
BECAUSE THIS IS MY FIRST LIFE
Teringat kutipan sederhana dalam
buku NKCTHI yang juga jadi salah satu favoritku “selalu ada yang pertamakali dalam banyak hal”. Benar memang, termasuk
hidup. Kamu setuju gak?
Because this is my first life.
Eitss… bukan drama korea ya, meskipun
drama dengan judul tersebut bagus banget dan sedikit banyak nyadarin kita kalo
ya memang ini kehidupan pertama kita. (nonton deh…).
My first life, pada dasarnya gak ada manusia yang hidup untuk kedua
kali, kecuali merasakan moment tertentu yang membuat bangkit (dari kegagalan)
lalu memulai hidup baru dengan lebih baik. Tapi pada hakikatnya sebagian besar
manusia ya memang hidup untuk pertama kali. Maka karenanya sangat tidak
realistis jika manusia dituntut untuk selalu berhasil dalam banyak hal.
Seperti layaknya melakukan
sesuatu, rasa gugup, takut, cemas, dan khawatir saat melakukan sesuatu untuk
pertamakali akan datang mengampiri, maka dalam menjalani hidup rasa itu tak
akan pernah terlepas dari manusia. Hidup untuk pertamakali mengharuskan manusia
belajar banyak hal, maka jangan tuntut manusia untuk mahir dalam sekali coba.
Manusia adalah subyek yang
sepanjang hidupnya akan dan harus terus belajar. Bukankah wajar melakukan
kesalahan dalam belajar?. Bukankah wajar, gagal dalam ujian yang datang setelah
kita belajar?. Jangan terlalu tinggi berekspektasi terhadap diri, sebab diri
belum semahir itu dalam hidup.
Sepanjang proses belajar tempaan
dan gesekan akan menjadi bagian dari perjalanan hidup. Nikmati saja karena itu
yang akan membentuk manusia. Jadi baik atau jadi buruk tergantung seberapa
mahir diri dalam menghadapi keduanya.
Jangan takut mencoba, because this is my first life. Kita gak
akan pernah tahu rasanya jika jika tidak mencoba. Terlepas enak atau tidak rasa
yang kita terima.
Jangan takut salah, because this is my first life. Benar
akan datang setelah kita belajar dari kesalahan.
Jangan takut berubah, because this is my first life. Jika
tidak sekarang kapan lagi kita akan memperbaiki hidup.
Jangan lupa bahagia, because this is my first life dan ya
tentu this will be my last life. Bahagialah,
bahagialah dan bahagialah. Apapun cara dan metodenya.
Because this is my first life, jangan terlalu memaksa diri jadi
sempurna, apalagi jadi seperti mereka.
Because this is my first life, kita hanya perlu menyadari hidup itu
hidup kalo kita mau tetap berjalan.
Dan because this is my first
life, bisa jadi penenang saat harapan tak juga kunjung datang menghampiri.
“oh gak papa gagal, ini hidup pertamaku, aku belum pernah melakukan
sebelumnya”.
“oh gak papa tak sesuai rencana, ini hidup pertamaku, pengalaman
bahkan belum aku dapatkan”.
“ini hidup pertamaku, tak apa
melangkah dengan ragu diawal, tak apa takut diawal, asalkan aku terus belajar”.
Dan banyak gak papa lainnya, Because this is my first life.
Jangan terlalu membebani diri dengan tuntutan begini begitu, apalagi tuntutan society.
Saturday, 11 July 2020
KELUH KESAH BANYAK ORANG
Thursday, 18 June 2020
SISI LAIN ANAK BUNGSU
Sunday, 31 May 2020
TAHUN KE 25
Sunday, 19 April 2020
Menjadi Introvert
Ternyata ada beberapa kategori introvert loh..
![]() |
| https://www.instagram.com/p/B-mIu1NFYnA/?igshid=5fsbq71fz0k7 |
Apapun itu tentu kamu yg paling paham tentang dirimu.
Tapi pernah ngerasa gak sih kalo menjadi introvert itu kadang dianggap sebagai sesuatu yg salah?
Mungkin hal itu yg membuat beberapa introvert pernah ingin menjadi ekstrovert.
Padahal menjadi introvert itu gak salah kok.
Jika kamu introvert,
Salah satu yg kamu mungkin pernah rasakan atau pertanyakan adalah "kok temenku gak banyak ya?"
"kok aku gak bisa cepet bergaul sama orang baru ya?"
Dan kemudian ingin mencoba merubahnya?
Kalau iya apa hasilnya?
Capek? Iyakan?
Kepribadian orang memang beda-beda kok. Ada tipe yang suka bergaul dan banyak teman, ada juga yang sebaliknya. Gak ada yang salah, semuanya tergantung dirimu.
Aku salah satu tipe introvert yang gak banyak gaul dan gak banyak temen, tapi bukan karena cemas Ya. Gak tahu kenapa "aku nyaman ketika gak banyak orang yang mengenalku dan aku gak kenal banyak orang". Hidup bisa lebih bebas aja gitu. Bebas kesana kemari, bebas melakukan apapun dan bebas begini begitu sendiri dan tanpa harus banyak menjaga hati orang.
Hah maksudnya?
Ya nyaman aja gitu ngelakuin hal-hal tanpa banyak yang tanya ini itu dan memperhatikan begini begitu.
Memang tipe yang individual banget sih, tapi bisa disebut mandiri juga. Melakukan banyak hal sendiri bukan karena gak ada yang mau di ajak bareng-bareng, tapi memang nyaman melakukannya sendiri.
Pernah mencoba mau berubah gak?
Tentu pernah.
Tapi ya gitu emang gak bisa atau sulit diubah. Yang ada capek sendiri karena maksa ngelakuin sesuatu yang gak nyaman. Dan benar, energi mental introvert akan terkuras jika ia banyak melakukan interaksi sosial selayaknya orang ekstrovert. Dan untuk memulihkannnya introvert butuh menyendiri.
Itulah sebenarnya introvert: orang yang berorientasi ke ‘dalam’ diri mereka sendiri (inward thinking).
Terus akhirnya ya sudah menerima diri apa adanya. “Aku tipe yang begini dan gak bisa seperti itu ya terima saja”. Gak perlu memaksakan jadi mereka dan memaksa mereka jadi kita.
Ini yang namanya keberagaman, bukankah katanya dunia lebih indah dengan keberagaman?
Jadi mari jadi diri sendiri apapun kepribadian kita. Sayangi diri sendiri dan jangan lupa hormati orang lain, apapun kepribadian mereka.




