Hallo, sudah lama nih gak bahas
buku, kali ini aku mau bahas buku yang sebenernya sudah lama pengen aku bahas. Sebuah
buku best seller yang waktu aku beli
ada di jajaran top 10 book di
Gramedia. Yaps “Filosofi Teras”. Buku
bercover putih, kuning dan hijau ini ditulis oleh Henry Manampiring dan
diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada tahun 2019. Tebal bukunya 320 halaman
dengan harga Rp. 98.000. Menurutku cukup sesuai harga dengan tebal bukunya
apalagi isinya he he.
Bahas apasih? Filsafat ya? Ah berat
banget kayaknya. Eh ternyata bukan loh. Buku ini berisi pengalaman pribadi sang
penulis dalam menerapkan filosofi teras untuk mengatasi kecemasan-kecemasan
yang dulu ia rasakan. Jadi kita gak akan belajar filsafat secara teoritis tapi
secara praktis.
Dijaman yang semua serba online ini
siapa sih yang bisa menjamin jika kondisi mental kita tetap baik-baik saja? Masalah
insecure, overthinking, anxiety, mudah marah dan banyak emosi negative lainnya
agaknya begitu mendominasi keluhan orang-orang. Apalagi disaat pandemic seperti
ini, rasanya emosi negative semakin sering muncul ya. Salah satunya seperti
yang dikemukakan dalam buku ini nih:
“dengan media social kita mengalami banjir informasi yang belum tentu
benar. Ini bisa menambah kekhawatiran”
Nah, bener gak nih? Jika ia, mari
kita belajar dari buku ini. Buku ini akan mengajak kita bagaimana menerapkan
filosofi teras atau yang juga dikenal dengan filosofi stoa untuk mencapai
kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam filosofi stoa secara sederhana bahagia itu
ketika tidak ada gangguan. Gangguan macam
apa? Apapun itu, segala macam emosi negative
bisa dikategorikan sebagai gangguan. Bahkan sekedar notifikasi tak henti di
grup Wa juga bisa dikategorikan gangguan.
Seperti definisinya, dalam filosofi
stoa kita tidak akan diajak untuk memperoleh kebahagian dalam pengertian umum
seperti sukses, punya rumah, karir bagus, dll. Tapi kita akan diajarkan
bagaiman kita bisa mengendalikan emosi negative kita. Kok gitu? karena dalam
filosofi ini tidak ada emosi negative sama
dengan bahagia.
Bicara bahagia dalam Filosofi stoa,
maka tidak akan terlepas dari istilah Dikotomi
kendali.
“somethings are up to us, something are not up to us”
-Epictetus (Enchiridion)
Kamu setuju kan dengan kalimat itu?
Tapi sudah tahu belum makna yang sebenarnya? Ini sangat erat kaitannya dengan
kebahagiaan kita. Aku sendiri setelah memahami kalimat itu, setuju dengan
maksud yang disampaikan. Dalam hidup ada hal yang dibawah kendali kita dan ada hal
yang tidak dibawah kendali kita.
Kekayaan masuk yang mana menurutmu?
Dibawah kendali kita? Oh ternyata tidak. Stoisisme mengajarkan bahwa
kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari ‘’things
we can control”, hal-hal dibawah kendali kita. Kebahagiaan hanya bisa datang
dari dalam. Apa saja? Pertimbangan, opini dan persepsi kita, keinginan kita,
tujuan kita dan segala sesuatu yang memang pikiran dan tindakan kita. Makanya tidak rasional jika kita menggantungkan
kebahagiaan pada hal yang tidak bisa kita kendalikan seperti kekayaan, perlakuan
orang lain, opini orang lain, status, dll. Jika tidak setuju coba nalarnya
dipake lebih jauh karena rasionalitas
juga salah satu kunci dari filosofi stoa.
Jika nalar kita belum sampe dapet
toleransi nih, maka ditawari konsep lain yakni Trikotomi kendali. Ada hal
lain yang SEBAGIAN dibawah kendali kita, artinya kita bisa mengusahakan segala
sesuatu yang bisa kita kerjakan tapi outcome
akhirnya diluar kendali kita. Seperti bisnis dan karir contohnya.
Hal-hal diluar kendali kita
sebenanya adalah hal yang indifferent atau
tidak memiliki pengaruh. Tapi sebagai manusia kadang masih terlena dengan
hal-hal diluar kendali kan ya. Makanya ada preferred
indifferent (hal-hal yang gak ngaruh tapi kalau ada ya bagus) missal kekayaan,
kecantikan dan popularitas. Ada juga unpreferred
indifferent (hal-hal yang gak ngaruh tapi kalau gak ada lebih baik) missal penyakit
dan kemiskinan.
Itu tadi konsep dasar bahagia yang coba diterapkan Om Piring (sapaan penulis) dalam kehidupan sehari-hari.
Gimana masih merasa cemas?. Wait mungkin kita belum kenal ini:
“it is not things that trouble us, but our judgment about things”
-Epictetus (Enchiridion)
Iya benar, sumber kekhawatiran ada
di dalam pikiran kita, bukan peristiwanya. Maka dari itu kita punya kekuatan
untuk mengubah persepsi kita.
“pada dasarnya semua emosi dipicu
oleh penilaian, opini, persepsi kita. Keduanya saling terkait, dan jika ada
emosi negative, sumbernya ya nalar/rasio kita sendiri”.
Jadi masalahnya adalah pada
interpretasi kita, rasional atau tidak. Untuk mengatasinyanya kita diberikan
solusi yakni STARS.
Stop (berhenti), begitu kita merasakan emosi negative
Think & Assess (dipikirkan dan dinilai), pikirkan secara rasional
dan nilai apakah pikiran saya ini terjadi karena sesuatu yang didalam atau
diluar kendali kita. Missal ketemu teman lama, mereka spontan teriak “eh gila lo gemuk amat sekarang”
interpretasi negatif yang muncul pertama adalah “orang ini menghina gue” padahal setelah kita pikirkan dan nilai
mungkin orang ini tidak tahu etika menyapa yang benar jadi ini hal diluar
kendali kita.
Respond setelah kita bisa berfikir dan menilai secara rasional
barulah kita menentuka respon kita. Tentunya respon yang sebaik-baiknya, baik
tindakan maupun perkataan.
Masih khawatir juga? Ah agaknya kamu
perlu tahu
“85% of what we worry never happens”
Gak kejadian kan?. Iya kita aja
yang lebay membiarkan pikiran kita kesana-kemari.
Jadi, coba ingat lagi bahwa pikiran
kita ada dibawah kendali kita. Jika kita masih sering khawatir atau over thinking coba alihkan menjadi premeditation malorum yakni memikirkan
kemungkinan buruk yang akan terjadi dalam hidup kita, bukan untuk membuat
khawatir tapi untuk mengenali peristiwa diluar kendali kita dan kemudian memilih
bersikap rasional. Supaya apa? Supaya kita siap jika benar-benar terjadi dan
tidak terlalu terkejut.
Mau yang lebih ekstrim, maka
latihanlah menderita.
“jika kamu ingin seseorang tak goyah saat krisis menghantam, maka
latihlah ia sebelum krisis itu datang”
-Saneca (Letters)
Saneca menganjurkan kita untuk
berlatih apes atau latihan menjadi miskin secara rutin. Dengan cara apapun, missal
makan makanan yang sangat sederhana. Tujuannya apa? Menjadi renungan, apakah
menjadi miskin sungguh semenakutkan itu? Karena ternyata kita masih bisa hidup
dengan makanan yang sederhana. Rasa percaya diri juga akan meningkat karena
diri bisa menjalani musibah dengan kuat. Selain itu ini juga bisa melawan
fenomena hedonic adaptation, apapun
yang membuat kita senang pada akhirnya akan kehilangan kenikmatan seiring
berjalannya waktu.
Itu tadi sekilasi isi buku filosofi
teras yang aku kulik, selengkapnya bisa kalian baca sendiri ya…
Jadi secara keseleluruhan buku ini
bagus menurutku, penggunaan kalimatnya mudah dipahami bahkan disisipkan
banyolan-banyolan khas anak-anak muda di masa sekarang. Jangan takut dulu
karena judulnya filosofi, kita gak akan kuliah filsafat 4 sks kok he he.
Buku ini cocok banget buat kamu
yang lagi nyari bacaan untuk kesehatan mental atau sekedar ingin mengenali
diri. Tidak terbatas bagi siapapun itu, bisa banget baca buku ini. Yang lagi
galau, suka marah-marah, sedang bingung, baperan, ingin jadi lebih baik bisalah
jadiin buku ini sebagai salah satu bacaanmu. Sesuai dengan pertanyaan di halaman cover
belakang buku, isi buku ini banyak memberi jawaban atas pertanyaan tentang
kegelisahaan hidup.
Jadi yuk baca..
Kutipan penutup nih…
“selamat menjalani hidup! Dengan keberanian, kebijaksanaan, menahan diri
dan keadilan”

No comments:
Post a Comment