Saturday, 19 September 2020

KENALAN SAMA FILOSOFI TERAS YUK! SUPAYA MENTALMU GAK CEPET LOYO

 


Hallo, sudah lama nih gak bahas buku, kali ini aku mau bahas buku yang sebenernya sudah lama pengen aku bahas. Sebuah buku best seller yang waktu aku beli ada di jajaran top 10 book di Gramedia. Yaps “Filosofi Teras”. Buku bercover putih, kuning dan hijau ini ditulis oleh Henry Manampiring dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada tahun 2019. Tebal bukunya 320 halaman dengan harga Rp. 98.000. Menurutku cukup sesuai harga dengan tebal bukunya apalagi isinya he he.

Bahas apasih? Filsafat ya? Ah berat banget kayaknya. Eh ternyata bukan loh. Buku ini berisi pengalaman pribadi sang penulis dalam menerapkan filosofi teras untuk mengatasi kecemasan-kecemasan yang dulu ia rasakan. Jadi kita gak akan belajar filsafat secara teoritis tapi secara praktis.

Dijaman yang semua serba online ini siapa sih yang bisa menjamin jika kondisi mental kita tetap baik-baik saja? Masalah insecure, overthinking, anxiety, mudah marah dan banyak emosi negative lainnya agaknya begitu mendominasi keluhan orang-orang. Apalagi disaat pandemic seperti ini, rasanya emosi negative semakin sering muncul ya. Salah satunya seperti yang dikemukakan dalam buku ini nih:

“dengan media social kita mengalami banjir informasi yang belum tentu benar. Ini bisa menambah kekhawatiran”

Nah, bener gak nih? Jika ia, mari kita belajar dari buku ini. Buku ini akan mengajak kita bagaimana menerapkan filosofi teras atau yang juga dikenal dengan filosofi stoa untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari.  Dalam filosofi stoa secara sederhana bahagia itu ketika tidak ada gangguan. Gangguan macam apa? Apapun itu, segala macam emosi negative bisa dikategorikan sebagai gangguan. Bahkan sekedar notifikasi tak henti di grup Wa juga bisa dikategorikan gangguan.

Seperti definisinya, dalam filosofi stoa kita tidak akan diajak untuk memperoleh kebahagian dalam pengertian umum seperti sukses, punya rumah, karir bagus, dll. Tapi kita akan diajarkan bagaiman kita bisa mengendalikan emosi negative kita. Kok gitu? karena dalam filosofi ini tidak ada emosi negative sama dengan bahagia.

Bicara bahagia dalam Filosofi stoa, maka tidak akan terlepas dari istilah Dikotomi kendali.

“somethings are up to us, something are not up to us”

-Epictetus (Enchiridion)

Kamu setuju kan dengan kalimat itu? Tapi sudah tahu belum makna yang sebenarnya? Ini sangat erat kaitannya dengan kebahagiaan kita. Aku sendiri setelah memahami kalimat itu, setuju dengan maksud yang disampaikan. Dalam hidup ada hal yang dibawah kendali kita dan ada hal yang tidak dibawah kendali kita.

Kekayaan masuk yang mana menurutmu? Dibawah kendali kita? Oh ternyata tidak. Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari ‘’things we can control”, hal-hal dibawah kendali kita. Kebahagiaan hanya bisa datang dari dalam. Apa saja? Pertimbangan, opini dan persepsi kita, keinginan kita, tujuan kita dan segala sesuatu yang memang pikiran dan tindakan kita. Makanya tidak rasional jika kita menggantungkan kebahagiaan pada hal yang tidak bisa kita kendalikan seperti kekayaan, perlakuan orang lain, opini orang lain, status, dll. Jika tidak setuju coba nalarnya dipake lebih jauh karena rasionalitas juga salah satu kunci dari filosofi stoa.

Jika nalar kita belum sampe dapet toleransi nih, maka ditawari konsep lain yakni Trikotomi kendali.  Ada hal lain yang SEBAGIAN dibawah kendali kita, artinya kita bisa mengusahakan segala sesuatu yang bisa kita kerjakan tapi outcome akhirnya diluar kendali kita. Seperti bisnis dan karir contohnya.

Hal-hal diluar kendali kita sebenanya adalah hal yang indifferent atau tidak memiliki pengaruh. Tapi sebagai manusia kadang masih terlena dengan hal-hal diluar kendali kan ya. Makanya ada preferred indifferent (hal-hal yang gak ngaruh tapi kalau ada ya bagus) missal kekayaan, kecantikan dan popularitas. Ada juga unpreferred indifferent (hal-hal yang gak ngaruh tapi kalau gak ada lebih baik) missal penyakit dan kemiskinan.

Itu tadi konsep dasar bahagia yang coba diterapkan Om Piring (sapaan penulis) dalam kehidupan sehari-hari.

Gimana masih merasa cemas?. Wait mungkin kita belum kenal ini:

“it is not things that trouble us, but our judgment about things”

-Epictetus (Enchiridion)

Iya benar, sumber kekhawatiran ada di dalam pikiran kita, bukan peristiwanya. Maka dari itu kita punya kekuatan untuk mengubah persepsi kita.

“pada dasarnya semua emosi dipicu oleh penilaian, opini, persepsi kita. Keduanya saling terkait, dan jika ada emosi negative, sumbernya ya nalar/rasio kita sendiri”.

Jadi masalahnya adalah pada interpretasi kita, rasional atau tidak. Untuk mengatasinyanya kita diberikan solusi yakni STARS.

Stop (berhenti), begitu kita merasakan emosi negative

Think & Assess (dipikirkan dan dinilai), pikirkan secara rasional dan nilai apakah pikiran saya ini terjadi karena sesuatu yang didalam atau diluar kendali kita. Missal ketemu teman lama, mereka spontan teriak “eh gila lo gemuk amat sekarang” interpretasi negatif yang muncul pertama adalah “orang ini menghina gue” padahal setelah kita pikirkan dan nilai mungkin orang ini tidak tahu etika menyapa yang benar jadi ini hal diluar kendali kita.

Respond setelah kita bisa berfikir dan menilai secara rasional barulah kita menentuka respon kita. Tentunya respon yang sebaik-baiknya, baik tindakan maupun perkataan.

Masih khawatir juga? Ah agaknya kamu perlu tahu

“85% of what we worry never happens”

Gak kejadian kan?. Iya kita aja yang lebay membiarkan pikiran kita kesana-kemari.

Jadi, coba ingat lagi bahwa pikiran kita ada dibawah kendali kita. Jika kita masih sering khawatir atau over thinking coba alihkan menjadi premeditation malorum yakni memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi dalam hidup kita, bukan untuk membuat khawatir tapi untuk mengenali peristiwa diluar kendali kita dan kemudian memilih bersikap rasional. Supaya apa? Supaya kita siap jika benar-benar terjadi dan tidak terlalu terkejut.

Mau yang lebih ekstrim, maka latihanlah menderita.

“jika kamu ingin seseorang tak goyah saat krisis menghantam, maka latihlah ia sebelum krisis itu datang”

-Saneca (Letters)

Saneca menganjurkan kita untuk berlatih apes atau latihan menjadi miskin secara rutin. Dengan cara apapun, missal makan makanan yang sangat sederhana. Tujuannya apa? Menjadi renungan, apakah menjadi miskin sungguh semenakutkan itu? Karena ternyata kita masih bisa hidup dengan makanan yang sederhana. Rasa percaya diri juga akan meningkat karena diri bisa menjalani musibah dengan kuat. Selain itu ini juga bisa melawan fenomena hedonic adaptation, apapun yang membuat kita senang pada akhirnya akan kehilangan kenikmatan seiring berjalannya waktu.

 ***

Itu tadi sekilasi isi buku filosofi teras yang aku kulik, selengkapnya bisa kalian baca sendiri ya…

Jadi secara keseleluruhan buku ini bagus menurutku, penggunaan kalimatnya mudah dipahami bahkan disisipkan banyolan-banyolan khas anak-anak muda di masa sekarang. Jangan takut dulu karena judulnya filosofi, kita gak akan kuliah filsafat 4 sks kok he he.

Buku ini cocok banget buat kamu yang lagi nyari bacaan untuk kesehatan mental atau sekedar ingin mengenali diri. Tidak terbatas bagi siapapun itu, bisa banget baca buku ini. Yang lagi galau, suka marah-marah, sedang bingung, baperan, ingin jadi lebih baik bisalah jadiin buku ini sebagai salah satu bacaanmu.  Sesuai dengan pertanyaan di halaman cover belakang buku, isi buku ini banyak memberi jawaban atas pertanyaan tentang kegelisahaan hidup.

Jadi yuk baca..

Kutipan penutup nih…

“selamat menjalani hidup! Dengan keberanian, kebijaksanaan, menahan diri dan keadilan”

 

No comments:

Post a Comment