Saturday, 26 September 2020

Belajar Hidup dari Buku “I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki”

 

Siapa yg gak tahu Tteokpokki?

Jajanan kaki lima khas korea yg sering muncul dalam berbagai drama korea. Iya yg itu, kue beras yg dimasak dengan bumbu pasta cabai dengan cita rasa pedas dan asam. Gimana sudah pernah makan?.

Tapi kita gak akan bahas Tteokpokki ya... Melainkan sebuah buku yg mengandung Tteokpokki. Iya judulnya aja he he.

 


Yaps apalagi kalau bukan buku #1 best seller di Korea Selatan I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki karya Baek Se Hee. Buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Haru tahun 2019. Buku yg aku punya adalah buku cetakan ke 10. Wah laris juga ya di Indonesia.

Apasih istimewanya buku ini sampai laris manis dimana-mana?. Ayok kita coba cari tahu.

Dari kenampakannya dulu ya. Buku ini punya cover manis berwarna ungu muda dengan ilustrasi seorang perempuan yg sedang tidur dengan selimutnya (ala2 orang yg lagi sedih gitu). Melihat isi dalamnya kita akan disuguhkan dominasi warna pink untuk bagian2 tulisan tertentu. Menururtku ini membuat bukunya jadi terkesan eksklusif untuk perempuan, selain itu aku juga pernah menjumpai buku lain dengan dominasi warna yg sama. Padahal isinya sebenarnya bisa relate buat siapa aja bisa laki2 atau perempuan walaupun penulisnya perempuan.


Emang isinya bahas apa sih?

Buku ini berisi esai dari si penulis yakni Baek Se Hee yang mengidap Distimia. Didalam bukunya akan disajikan percakapan penulis dengan psikiaternya. Iya mostly isinya percakapan. Bagi yang mudah bosan, mungkin ini agak sedikit membosankan, tapi percayalah ada nilai-nilai yang terselip dari setiap percakapan mereka. Dari percakapan itu kita bisa mengetahui penilaian, saran, nasihat dan evaluasi diri yg diharapkan bisa bermanfaat bagi pembaca untuk bisa menerima dan mencintai diri sendiri.

Apa aja isinya? Aku bakal kasih tau sedikit nih..

Distimia atau gangguan distimik adalah kondisi dimana penderitanya mengalami depresi ringan yang berkepanjangan dan terus menerus. Ini berbeda dengan gangguan depresi mayor yang menunjukkan gejala depresi berat. Menurut dr. Jiemi Ardian, Sp.Kj, persistent depressive disorder (distimia) adalah bentuk kronis (jangka panjang) dari depresi. Seseorang dapat kehilangan ketertarikan yang normal pada aktivitas sehari-hari, merasa tidak ada harapan, produktivitas berkurang, harga diri yang rendah dan perasaan tidak layak. Distimia berbeda dengan depresi dalam derajatnya serta durasi waktunya yang sangat lama. 

Nah si penulis mendapat diagnosis distimia dari psikiater yang menanganinya. Pola pikir orang yang menderita distimia seringkali unik dan itu juga yang terjadi pada sosok Se Hee. Awalnya Se Hee hanya merasa depresi biasa. Diawal buku dijelaskan bagaimana ia tidak percaya diri, memiliki tendensi ketergantungan dan perilaku unik lainnya yang menjurus pada diagnosa distimia.

Contohnya, Se Hee punya kebiasaan menegur seseorang yang melakukan tindakan yang ia anggap mengganggu, seperti berbicara keras saat telepon di bus umum. Menurutnya jika ada 10 kasus seperti itu ia ingin menegur sepuluh kali. Lalu sang psikiater memberi saran:

"Anda menjadikan hal yang bisa dikritik orang lain menjadi tanggung jawab anda sendiri. Padahal menghindari orang-orang yang tampaknya tidak akan peduli setelah ditegur adalah pilihan yang baik. Mencari satu persatu akar permasalahan dan berusaha menyelesaikannya sendiri adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin. Tubuh kita hanya ada satu, tidak perlu membebankan peran yang terlalu besar untuk tubuh ini".

 

Karena isi buku ini kebanyakan adalah percakapan maka nilai atau hal yang ingin ditonjolkan dalam pembahasan harus digali lebih dalam. Perlu beberapa pemahaman untuk memahami maksud yang disampaikan dari keduanya. Oleh karenanya aku merangkum beberapa hal yang kiranya penting dan sesuai dengan kondisi kebanyakan kita. Tentunya tidak akan semua aku sampaikan ya. Akan lebih baik jika setelahnya kalian membaca sendiri dan menemukan sudut pandang menurut kalian sendiri. Yuk lanngsung saja.


Khawatir terhadap penilaian orang lain 

Perilaku Se Hee yang juga mirip dengan kita kebanyakan adalah terlalu mengkhawatirkan apa yang dipikirkan orang lain. Akibatnya kepuasan terhadap diri sendiri menurun. Perilaku yang muncul adalah kebiasaan mengawasi diri sendiri, memastikan diri oke atas perilaku, penampilan maupun kata2 kita. Kita jadi semacam memantau diri melalui cctv, begitu kata sang psikiater. Dampaknya apa? Tentu kita akan kelelahan sendiri. Padahal kita bisa mengabaikannya.

"hal yang paling penting adalah perasaan senang dan gembira dari dalam diri anda, tidak peduli apa yang orang lain pikir atau katakan. Saya harap anda bisa memenuhi keinginan diri anda terlebih dahulu, tanpa memikirkan apa yang dilihat oleh orang lain".


Minder ketemu dengan orang baru

Se Hee seringkali merasa minder ketika bertemu dg orang lain. Ia merasa jika dirinya biasa saja dan takut jika orang lain tahu, mereka akan meninggalkannya. Bagaimana cara mengatasi pikiran ini?

"apakah ini masalah yg harus diperbaiki? Semua kembali pada bagaimana cara anda memandang diri anda. Saat ini anda menetapkan standar anda sendiri dan menyiksa diri anda dengan standar itu."

Perasaan superioritas dan inferioritas juga ia alami. Ia akan merasa PD jika ia merasa dirinya superior dibanding orang lain, seperti lulus dari universitas yang lebih baik contohnya. Sebaliknya jika ia tahu bahwa lawannya lebih superior darinya ia akan merasa minder. Padahal perasaan superioritas dan inferioritas hanya terbawa oleh standar kebanyakan.

 

Tidak mengenali diri sendiri

"saya belum mengenl diri saya sendiri, apa yg harus saya lakukan?

"banyak orang yg mengaku kenal terhadap diri sendiri, tapi lebih baik jika kita berpikir dan bertanya, "apakah aku benar2 mengenal diriku sendiri? Ataukah aku hanya melihat sosok diriku seperti yang ingin kulihat saja?”

"mana yg benar?"

"pada akhirnya kita tentu harus melihat sosok diri kita secara keseluruhan. Secara multi dimensional."

Melihat diri sendiri sama halnya dengan melihat orang lain, kita tidak bisa melihat tokoh hanya berdasarkan baik atau jahat saja, melainkan keseluruhannya. Jika kita bisa melihat orang lain secara keseluruhan maka kita juga harus melakukan hal yang sama terhadap diri sendiri.

 

Obsesi terhadap penampilan

Kecenderungan untuk menganggap diri kurang menarik, tidak cantik, tidak sesuai standar orang lain memang akan selalu melekat ya. Ini pula yang dialami Se Hee.

“saya paham bahwa saya tidak bisa memenuhi ekspektasi semua orang. Tapi pada kenyataannya saya tidak bisa menerimanya. Saya banyak menyalahkan diri saya karena masalah ini”.

“saya pikir masalah ini bukanlah masalah yang harus dihindari, tapi harus anda nikmati. Anda hanya perlu menikmati keseharian anda. Terkadang ada saatnya dimana anda ingin merias wajah sesuai dengan perasaan anda hari itu. Tapi ada saatnya pula anda tidak ingin merias wajah anda sama sekali. Saat itulah sebaiknya anda bersikap masa bodoh dan membiarkan orang-orang menilai sesuka hati mereka”.


Jadi…. 

Itu tadi beberapa poin yang coba aku ulas dari buku ini. Jika kalian tertarik bisa langsung baca saja fullnya. Harga asli buku ini Rp. 99.000, tapi sudah banyak diskon di berbagai marketplace menjadi sekitar Rp. 80.000an saja. Buku ini cocok bagi kalian yang memiliki berbagai macam pikiran dan kecemasan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun tanpa diagnosis gangguan mental apapun ini juga bisa jadi pelajaran buat kita untuk memahami orang-orang yang mungkin sedang berjuang menghadapi gangguan yang mereka alami.

Oh iya buku seri 2 nya juga sudah terbit. Bisa kalian jadikan bahan bacaan selanjutnya setelah buku satu selesai jika kalian tertarik dengan kelanjutan ceritanya.

Terimakasih sudah mampir. See u di buku-buku selanjutnya ya.

Saturday, 19 September 2020

KENALAN SAMA FILOSOFI TERAS YUK! SUPAYA MENTALMU GAK CEPET LOYO

 


Hallo, sudah lama nih gak bahas buku, kali ini aku mau bahas buku yang sebenernya sudah lama pengen aku bahas. Sebuah buku best seller yang waktu aku beli ada di jajaran top 10 book di Gramedia. Yaps “Filosofi Teras”. Buku bercover putih, kuning dan hijau ini ditulis oleh Henry Manampiring dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada tahun 2019. Tebal bukunya 320 halaman dengan harga Rp. 98.000. Menurutku cukup sesuai harga dengan tebal bukunya apalagi isinya he he.

Bahas apasih? Filsafat ya? Ah berat banget kayaknya. Eh ternyata bukan loh. Buku ini berisi pengalaman pribadi sang penulis dalam menerapkan filosofi teras untuk mengatasi kecemasan-kecemasan yang dulu ia rasakan. Jadi kita gak akan belajar filsafat secara teoritis tapi secara praktis.

Dijaman yang semua serba online ini siapa sih yang bisa menjamin jika kondisi mental kita tetap baik-baik saja? Masalah insecure, overthinking, anxiety, mudah marah dan banyak emosi negative lainnya agaknya begitu mendominasi keluhan orang-orang. Apalagi disaat pandemic seperti ini, rasanya emosi negative semakin sering muncul ya. Salah satunya seperti yang dikemukakan dalam buku ini nih:

“dengan media social kita mengalami banjir informasi yang belum tentu benar. Ini bisa menambah kekhawatiran”

Nah, bener gak nih? Jika ia, mari kita belajar dari buku ini. Buku ini akan mengajak kita bagaimana menerapkan filosofi teras atau yang juga dikenal dengan filosofi stoa untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari.  Dalam filosofi stoa secara sederhana bahagia itu ketika tidak ada gangguan. Gangguan macam apa? Apapun itu, segala macam emosi negative bisa dikategorikan sebagai gangguan. Bahkan sekedar notifikasi tak henti di grup Wa juga bisa dikategorikan gangguan.

Seperti definisinya, dalam filosofi stoa kita tidak akan diajak untuk memperoleh kebahagian dalam pengertian umum seperti sukses, punya rumah, karir bagus, dll. Tapi kita akan diajarkan bagaiman kita bisa mengendalikan emosi negative kita. Kok gitu? karena dalam filosofi ini tidak ada emosi negative sama dengan bahagia.

Bicara bahagia dalam Filosofi stoa, maka tidak akan terlepas dari istilah Dikotomi kendali.

“somethings are up to us, something are not up to us”

-Epictetus (Enchiridion)

Kamu setuju kan dengan kalimat itu? Tapi sudah tahu belum makna yang sebenarnya? Ini sangat erat kaitannya dengan kebahagiaan kita. Aku sendiri setelah memahami kalimat itu, setuju dengan maksud yang disampaikan. Dalam hidup ada hal yang dibawah kendali kita dan ada hal yang tidak dibawah kendali kita.

Kekayaan masuk yang mana menurutmu? Dibawah kendali kita? Oh ternyata tidak. Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari ‘’things we can control”, hal-hal dibawah kendali kita. Kebahagiaan hanya bisa datang dari dalam. Apa saja? Pertimbangan, opini dan persepsi kita, keinginan kita, tujuan kita dan segala sesuatu yang memang pikiran dan tindakan kita. Makanya tidak rasional jika kita menggantungkan kebahagiaan pada hal yang tidak bisa kita kendalikan seperti kekayaan, perlakuan orang lain, opini orang lain, status, dll. Jika tidak setuju coba nalarnya dipake lebih jauh karena rasionalitas juga salah satu kunci dari filosofi stoa.

Jika nalar kita belum sampe dapet toleransi nih, maka ditawari konsep lain yakni Trikotomi kendali.  Ada hal lain yang SEBAGIAN dibawah kendali kita, artinya kita bisa mengusahakan segala sesuatu yang bisa kita kerjakan tapi outcome akhirnya diluar kendali kita. Seperti bisnis dan karir contohnya.

Hal-hal diluar kendali kita sebenanya adalah hal yang indifferent atau tidak memiliki pengaruh. Tapi sebagai manusia kadang masih terlena dengan hal-hal diluar kendali kan ya. Makanya ada preferred indifferent (hal-hal yang gak ngaruh tapi kalau ada ya bagus) missal kekayaan, kecantikan dan popularitas. Ada juga unpreferred indifferent (hal-hal yang gak ngaruh tapi kalau gak ada lebih baik) missal penyakit dan kemiskinan.

Itu tadi konsep dasar bahagia yang coba diterapkan Om Piring (sapaan penulis) dalam kehidupan sehari-hari.

Gimana masih merasa cemas?. Wait mungkin kita belum kenal ini:

“it is not things that trouble us, but our judgment about things”

-Epictetus (Enchiridion)

Iya benar, sumber kekhawatiran ada di dalam pikiran kita, bukan peristiwanya. Maka dari itu kita punya kekuatan untuk mengubah persepsi kita.

“pada dasarnya semua emosi dipicu oleh penilaian, opini, persepsi kita. Keduanya saling terkait, dan jika ada emosi negative, sumbernya ya nalar/rasio kita sendiri”.

Jadi masalahnya adalah pada interpretasi kita, rasional atau tidak. Untuk mengatasinyanya kita diberikan solusi yakni STARS.

Stop (berhenti), begitu kita merasakan emosi negative

Think & Assess (dipikirkan dan dinilai), pikirkan secara rasional dan nilai apakah pikiran saya ini terjadi karena sesuatu yang didalam atau diluar kendali kita. Missal ketemu teman lama, mereka spontan teriak “eh gila lo gemuk amat sekarang” interpretasi negatif yang muncul pertama adalah “orang ini menghina gue” padahal setelah kita pikirkan dan nilai mungkin orang ini tidak tahu etika menyapa yang benar jadi ini hal diluar kendali kita.

Respond setelah kita bisa berfikir dan menilai secara rasional barulah kita menentuka respon kita. Tentunya respon yang sebaik-baiknya, baik tindakan maupun perkataan.

Masih khawatir juga? Ah agaknya kamu perlu tahu

“85% of what we worry never happens”

Gak kejadian kan?. Iya kita aja yang lebay membiarkan pikiran kita kesana-kemari.

Jadi, coba ingat lagi bahwa pikiran kita ada dibawah kendali kita. Jika kita masih sering khawatir atau over thinking coba alihkan menjadi premeditation malorum yakni memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi dalam hidup kita, bukan untuk membuat khawatir tapi untuk mengenali peristiwa diluar kendali kita dan kemudian memilih bersikap rasional. Supaya apa? Supaya kita siap jika benar-benar terjadi dan tidak terlalu terkejut.

Mau yang lebih ekstrim, maka latihanlah menderita.

“jika kamu ingin seseorang tak goyah saat krisis menghantam, maka latihlah ia sebelum krisis itu datang”

-Saneca (Letters)

Saneca menganjurkan kita untuk berlatih apes atau latihan menjadi miskin secara rutin. Dengan cara apapun, missal makan makanan yang sangat sederhana. Tujuannya apa? Menjadi renungan, apakah menjadi miskin sungguh semenakutkan itu? Karena ternyata kita masih bisa hidup dengan makanan yang sederhana. Rasa percaya diri juga akan meningkat karena diri bisa menjalani musibah dengan kuat. Selain itu ini juga bisa melawan fenomena hedonic adaptation, apapun yang membuat kita senang pada akhirnya akan kehilangan kenikmatan seiring berjalannya waktu.

 ***

Itu tadi sekilasi isi buku filosofi teras yang aku kulik, selengkapnya bisa kalian baca sendiri ya…

Jadi secara keseleluruhan buku ini bagus menurutku, penggunaan kalimatnya mudah dipahami bahkan disisipkan banyolan-banyolan khas anak-anak muda di masa sekarang. Jangan takut dulu karena judulnya filosofi, kita gak akan kuliah filsafat 4 sks kok he he.

Buku ini cocok banget buat kamu yang lagi nyari bacaan untuk kesehatan mental atau sekedar ingin mengenali diri. Tidak terbatas bagi siapapun itu, bisa banget baca buku ini. Yang lagi galau, suka marah-marah, sedang bingung, baperan, ingin jadi lebih baik bisalah jadiin buku ini sebagai salah satu bacaanmu.  Sesuai dengan pertanyaan di halaman cover belakang buku, isi buku ini banyak memberi jawaban atas pertanyaan tentang kegelisahaan hidup.

Jadi yuk baca..

Kutipan penutup nih…

“selamat menjalani hidup! Dengan keberanian, kebijaksanaan, menahan diri dan keadilan”

 

Tuesday, 1 September 2020

TENTANG YANG LAGI VIRAL


Beberapa waktu lalu, dunia maya sedang dihebohkan dengan kabar pernikahan sepasang public figure muda yang melangsungkan pernikahan melalui proses taaruf.

Sebenarnya tak ada yang aneh dengan proses tersebut, namun karena proses tersebut belum lazim digunakan masyarakat biasa apalagi generasi muda dan public figure maka ramailah pemberitaan tersebut.

Dalam unggahan salah satunya, secara singkat dijelaskan bagaimana proses mereka hingga memutuskan untuk menikah. Banyak reaksi berdatangan, termasuk dariku. Aku pribadi kagum sama setiap pasangan yang mengambil jalan taaruf sebagai langkah memulai hubungan, terlepas dari seperti apa masa lalu mereka. Setidaknya mereka memilih melakukan hal yang baik setelahnya. Iya aku masih sebatas percaya jika proses itu baik, namum masih ada juga pertanyaan-pertanyaan kecil apakah iya bisa? Apakah gak apa-apa kedepannya? Kok bisa ya yakin dalam waktu sesingkat itu?. Ya pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Mungkin imanku masih terlalu cetek untuk memahami itu semua.

Meskipun beberapa orang disekitarku menjalani proses yang sama tak lantas membuatku benar-benar yakin dengan hal itu.

Adalagi yang lagi berita pasangan muda yang juga melangsungkan pernikahan melalui proses taaruf. Tapi bedanya banyak beredar kabar tidak baik tentang keduanya. Tapi semoga tidak terjadi apa-apa.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah taaruf menjamin kelanggengan hidup rumah tangga?

Menurut salah seorang pakar “tidak, bahkan tidak sedikit yang rumah tangganya gagal walaupun melalui proses taaruf”. Kok bisa, katanya itu proses yang baik?.

Menurut kajian yang aku ikuti beberapa waktu lalu, ada kesalahan yang dilakukan dalam taaruf yakni taaruf yang terburu-buru apalagi dengan orang yang benar-benar baru dikenal. Taaruf sendiri  adalah proses, metode atau fase perkenalan sebelum fase khitbah dan pernikahan dalam jangka waktu tertentu yg disepakati dan ditemani oleh perantara. Ingatnya, ini bukan sebuah ikatan dan ada jangka waktu yang jelas. Iya ada waktunya, jadi gak ada yang namanya digantung dalam proses taaruf. Katanya seperti itu.

Mengenai taaruf yang buru-buru maksudnya disini mereka tidak memaksimalkan ikhtiar. Artinya jangan menggunakan jangka waktu yang terlalu singkat, apalagi dengan orang yang baru dikenal. Maksimalkan waktu yang ada untuk saling mengenal dan menanyakan apapun yang akan jadi visi misi pernikahan kedua calon pasangan. Pastikan bahwa benar-benar cocok dan sesuai kriteria. Kalo ternyata gak cocok? Gak lanjut gpp. Namanya juga proses, gagal didalamnya adalah hal wajar.

Proses yang baik akan lebih baik jika dijalankan dengan benar. Jadi taaruf saja belum tentu baik, harus dilakukan dengan tatacara yang baik pula. Jangan sampai taaruf sebagai tameng atau embel-embel untuk menjalin hubungan yang mengarah pacaran.

Mengenai yang lagi viral itu, jangan terlalu diagungkan juga jangan terlalu diremehkan. Ambil pelajaran dari sisi positifnya, buang yang dirasa tidak bermanfaat. Aku yakin kita sudah bisa membedakan.

Ada yang berpendapat “menikah jangan cuma ingin pamer keuwuan di social media”. Iya disadari atau tidak banyak generasi muda yang memilih menikah muda terlepas dari apapun alasannya seringkali dipandang hanya ingin memamerkan keuwuan di media social. Padahal tidak semua seperti itu. Menyegerakan ibadah jika sudah mampu adalah sesuatu yang baik. Ditunda-tunda padahal sudah mampu juga tidak baik, nanti malah jadi omongan Bu Tedjo lagi, Ups.

Aku sendiri maklum jika pasangan pengantin baru memposting hal yang membahagiakan, ya karena mereka sedang merasakannya. Tapi ya jangan terlalu diumbar, kasihanilah nasib kaum jomblo seperti aku ini. He he.

Bahagia sewajarnya berproses setelahnya. Agaknya perlu diingat terus jika berumah tangga adalah ibadah terpanjang dalam hidup. Perlu banyak ilmu didalamnya, banyak kedewasaan, banyak tanggungjawab, banyak mengalah, dan banyak-banyak yang lain. Pernikahan adalah awal memulai semuanya. Memulai yang baik dan indah harapannya akan membawa kebaikan dan keindahan seterusnya.


Gimaman? Setelah yang lagi viral itu sudah ada yang chat “tipe suami/istri idamanmu seperti apa?” belum?. Eits maaf jangan dijadikan bahan candaan. Nanti udah baper eh ternyata ujung2nya “tapi boong”. Jangan begitu ya. He he.

Selamat berproses, siapapun kamu dan proses apapun itu.