Capek kuliah nih,
Capek kerja nih,
Capek sendirian terus,
Capek ditanya kapan nikah,
Baper liat temen udah punya pasangan
Pengen nikahhhh ajaaaa.
Hemmm, hal tersebut memang wajar terjadi pada seseorang,
terutama pada masa pendewasaan. Akan ada masanya kita baper dan perpikiran “pengen
nikah aja”.
Usst, jangan buru-buru menghakimi dan berkata salah. Toh itu
semua terjadi bukan tanpa alasan. Kodrat bahwa manusia merupakan makhluk social
dan butuh orang lain memang tak bisa dihindari. Seiring dengan semakin
dewasanya seseorang mereka sudah bisa menyaring orang-orang yang menurut mereka
baik untuk dirinya dan mana yang buruk, jadi jangan heran jika semakin dewasa “teman
dekat” kita semakin sedikit dan kita butuh sosok yang bener-bener bisa
dipercaya.
Balik lagi ke “butuh seseorang”. Tidak semua orang bisa
kita percaya, tidak semua orang bisa memahami kita dan tidak semua orang mampu
memberi solusi atas permasalahan yang kita hadapi. Semakin banyaknya beban
seseorang, sosok orang yang mampu menjawab itu semua semakin dibutuhkan. Oleh karena
itu tidak heran jika keinginan untuk menikah saja muncul di saat kita merasa
sedang banyak beban. Kita butuh seseorang yang bisa kita percaya, mampu
memahami kita, dan memberi solusi atas permasalahan kita yang mungkin tidak
kita dapatkan dari orangtua, teman atau sahabat. Yaps kita menganggap
pasanganlah yang bisa kita andalkan. Kenapa? Karena ketika sudah menjadi
pasangan mau tidak mau kita harus percaya kepadanya, dia yang kita anggap
sebagai malaikat pelindung kita pasti akan selalu ada untuk kita disituasi
apapun. “pikirnya begitu”.
Hal yang perlu digaris bawahi, pikiran untuk menikah saja
bisa muncul sesaat di situasi dan kondisi seperti itu, tapi jika kondisi sudah
kembali normal kita akan berfikir panjang untuk memutuskan menikah. Karena
menikah bukan hanya soal pesta tapi juga dinamika setelahnya. Kesiapan menjadi factor
penting sebelum memutuskan untuk mengatakan “iya, aku bersedia” atau “bersediakah
engkau….”.
Taukah kita jika salah satu indicator yang turut berperan
dalam pembangunan adalah angka usia pernikahan yang semakin mundur atau semakin
dewasa. Negara kita sedang mengalami bonus demografi dimana penduduk usia produktif
lebih banyak dari usia nonproduktif. Jika penduduk usia produktif banyak
berkarya dan meghasilkan sesuatu tentu ini akan sangat bermanfaat bagi negara. Anak
muda dituntut untuk bisa berkontribusi bagi negara atau minimal bagi orang
lain. Kondisi ini mungkin berdampak pada tren menikah dewasa yang akhir-akhir
ini mulai terjadi di Indonesia. Tidak hanya laki-laki, tapi banyak perempuan
memilih untuk berkarier dan berkarya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk
menikah. Pilihan menikah diusia dewasa ini bisa menjadi motivasi bagi yang suka
baper dan pengen nikah. Bukan bermaksud menyampingkan ibadah, tetapi menjaga
kualitas “ibadah terlama” yang akan dijalani nantinya. Jika segala sesuatu
dipersiapkan dan dipertimbangkan dengan baik, hasilnya pasti baik juga.
Trus bagaimana jika perasaan “ingin menikah saja” muncul?.
Tak apa, anggap itu adalah hal yang normal asal jangan berlebihan. Sabar aja,
nanti aka nada masanya kita bersanding dengan “dia”. Jalani saja semuanya
dengan sabar dan ikhlas karena kata orang “semua akan indah pada waktunya”. Kapan
waktunya? Biarkan sang waktu yang menjawab.
BERKARYA AJA DULU!!!!.